Senja itu ketika hujan turun. Semuanya mengubah hidupku.
Sebuah lubang besar menganga didalam hatiku.
Allah mengerti dengan menurunkan hujan ini, untuk menutupi
semua airmataku yang jatuh.
Senja itu ia berkata semuanya.
Bahwa sudah tak ada lagi tempat dihatinya untukku.
Bahwa aku hanya kekhilafannya semata.
Bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang disayanginya.
Responku?
Tentu saja menangis.
Sekuat apapun aku menahan air mata ini, sekuat itu pula air
mata ini memaksa untuk jatuh.
Terlintas dibenakku.
Sesulit itukah membuatnya menyayangiku seorang tanpa
terbagi?
Sesulit itukah membuatnya luluh?
Sesulit itukah membuatnya sadar kalau aku bukanlah
mainannya?
Sakit.
Sakit.
Sakit.
Dia hanya melihat yang lain – yg belum tentu selalu ada-
Dia hanya melihat yang lain, aku hanya siluet.
Dia hanya melihat yang lain dari sisi kesempurnaannya.
Dia hanya melihat yang lain yang belum ia kenal seutuhnya.
Itulah dia. Manusia yang kuberi segalanya.
Manusia yang kuanggap istimewa dan menganggapku mainan.
Manusia yang kupercaya mampu menjaga dan menjadikanku bahan
kekhilafan.
Manusia yang dengan kukuhnya mempertahankan egonya dan lari
dari masalah.
Tapi sudahlah. Aku tak bisa terus memaksa hidupnya.
Tak ada yang bisa kulakukan lagi untuk membuatnya mengerti.
Hanya berdoa untuknya yang bisa kulakukan.
Malam ini dibawah deras hujan ini, dengan lirih airmata
kupanjatkan doa ini.
“sadarkan dia ya Allah, berilah ia jalan terbaik untuknya.
Berilah ia kebahagiaan dengan pilihannya. Berikanlah hambamu ini kesabaran yang
lebih untuk mampu menghadapi ujian sepertinya. Amin amin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar